Follow Aras Atas on Facebook Contact Us Open!

DILEMA PENDAKI GUNUNG - Suwardi Rasyid

 DILEMA PENDAKI GUNUNG

“Antara Pecinta Alam dan Penikmat Alam”



Ada mantra sakral yang terpatri dalam dada setiap pecinta alam dalam melaksanakan kegiatan, yakni; Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak, jangan mengambil sesuatu kecuali gambar, dan jangan membunuh sesuatu kecuali waktu. Untaian kalimat tersebut terwarisi dengan tegas dari satu generasi kegenerasi berikutnya dalam tradisi penggemblengan anggota baru kelompok pecinta alam.

Pendakian gunung merupakan salah satu bagian dari aktivitas kepecinta-alaman. Aktivitas ini merupakan skill pendukung dalam mewujudkan gerakan konservasi alam. Pendaki gunung bagi orang kebanyakan sampai tahun 2000-an adalah hal yang aneh dan buang-buang waktu. Namun demikian mereka memberikan ruang penghormatan kepada para pendaki gunung atas keberanian dan perilaku anehnya tersebut, karena pendaki gunung senantiasa jujur dan sangat sederhana dalam menjalani kehidupannya.

Semua pandangan  miring menjadi berubah setelah film bertajuk 5 Cm release tahun 2012. Cerita heroik pendakian Gunung Semeru oleh sekumpulan anak muda yang terikat dalam persahabatan yang dikisahkan dalam film tersebut menjadi inspirasi massive anak muda Indonesia. Persepsi miring dan miris aktivitas pendakian gunung seketika berubah 180 derajat. Semua penikmat film 5 cm berubah menjadi generasi baru pendaki gunung.

Maraknya pendakian oleh kelompok-kelompok pemuda disemua jalur pendakian gunung di Indonesia  menyisakan polemik; banyaknya pendaki yang hilang, cedera dan meninggal, sampai pada masalah klasik tentang “gunung yang menjadi tempat sampah”. Belum lagi kita berbicara pada adanya sampah yang merujuk pada terjadinya penyimpangan perilaku asusila pendaki. Gunung bukan lagi menjadi tempat yang sakral.

Pertumbuhan dan perkembangan pariwisata di Bali tidak luput dari analisa dan aksi cerdas pecinta alam Bali. Forum Komunikasi Pecinta Alam Bali (FKPA) yang dipelopori oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Wanaprastha Dharma (UKM Mapala WD) Universitas Udayana, pada momentum Temu Cinta Alam Se-Bali I, di Labuhan Lalang (07 April 1986) menghasilkan satu rumusan yang terwariskan menjadi IKRAR PECINTA ALAM SE-BALI, yang menyatakan dengan tegas:

  1. Kami Pecinta Alam Se-Bali meyakini kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Kami Pecinta Alam Se-Bali menjunjung tinggi persahabatan dan persaudaraan antar Pecinta Alam.
  3. Kami Pecinta Alam Se-Bali mendukung usaha Konservasi Sumber Daya Alam untuk ikut meningkatkan pembangunan pariwisata di Bali, baik sebagai pelaksana maupun pencetus ide.
  4. Kami Pecinta Alam Se-Bali menjunjung Kode Etik Pecinta Alam Se-Indonesia.


Ikrar Pecinta Alam Se-Bali ini menjadi bukti otentik betapa komunitas pecinta alam Bali sangat peduli dan kooperatif atas program pemerintah, khususnya pengembangan pariwisata alam di Bali.

Puncak Gunung Agung (Giri Tohlangkir) adalah destinasi wajib pendaki gunung Indonesia. Menjejak kaki pada puncak tertinggi tanah Bali menjadi kebanggaan karena Gunung Agung termasuk dalam deret daftar puncak ketinggian Indonesia. Pesona alam Bali bukan hanya Gunung Agung. Eksotisme Gunung Abang, Batu Karu, dan mistisme Gunung Batur dengan panorama indahnya Kintamani, serta sakralnya Desa Trunyan menjadi magnet istimewa para pendaki gunung Indonesia (khususnya dari kelompok Pecinta Alam) untuk datang ke-Bali.

Selain untuk menikmati keindahan alam, kelompok pecinta alam hadir untuk saling mengingatkan tentang prinsip dasar konservasi, yakni; perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan dengan bijaksana. Oleh karenanya vandalisme dan menyisakan sampah digunung menjadi perbuatan yang “menghina” nama baik pecinta alam, karena tidak berkesesuaian dengan Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang menyatakan bahwa:

  • Pecinta Alam sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
  • Pecinta Alam Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggungjawab kami terhadap Tuhan, Bangsa, dan Tanah Air.
  • Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa Pecinta Alam adalah makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah Yang Maha Esa.

Sesuai dengan hakekat di atas kami dengan kesadaran menyatakan sebagai berikut:

  1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Memelihara alam beserta isinya, serta menggunakan sumber daya alam sesuai kebutuhan
  3. Mengabdi kepada Bangsa dan Tanah Air
  4. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya serta menghargai manusia dengan kerabatnya
  5. Berusaha mempererat tali persaudaraan antara Pecinta Alam sesuai dengan azas Pecinta Alam
  6. Berusaha saling membantu serta saling menghargai pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa, dan Tanah Air
  7. Selesai (Disyahkan bersama dalam Gladian Nasional IV, Ujung Pandang 1974)

Ketertarikan masyarakat Bali untuk mengelola wisata pendakian gunung bermula pada kisaran tahun 2002, pasca Bom Bali. “Keterpurukan” bisnis pariwisata Bali akibat peristiwa pilu Bom Bali 1, dan 2 mengakibatkan penggiat wisata alam harus pulang kampung dan melirik dan mengembangkan potensi yang ada. Volounterisasi pemberian informasi terkait prosedur pendakian, tradisi yang harus ditaati, biaya transportasi dan akomodasi bagi para pendaki dari luar Bali yang selama ini terwakilkan oleh para pecinta alam mulai terkapitalisasi. Kelompok pemandu wisata alam dibentuk. Peraturan mewajibkan kepada setiap pendaki untuk membayar biaya perijinan, dan operasional jasa pemandu. Semua terkesan cepat dan instan, sehingga hal-hal prinsip terkait etika, prosedur keselamatan pendakian, serta kewajiban untuk menjaga kebersihan dan kesakralan gunung cenderung terabaikan. Pecinta alam sebagai pioner kegiatan pendakian perlahan menjelma “anak nakal” yang menghambat pertumbuhan ekonomi desa.

Pecinta Alam dalam ilmu Manajemen Perjalanan mengajarkan dan mewajibkan kepada seluruh anggotanya untuk tunduk dan taat kepada apa yang disebut dengan istilah Savety Procedure. Wujud aplikasi kongkrit dari istilah tersebut adalah: Pertama, mencari informasi tentang gunung yang akan dituju, termasuk tradisi masyarakat sekitarnya. Misalnya Gunung Agung dan atau gunung di Bali secara umum, maka pendaki wajib; berkoordinasi dengan Jro Mangku, Matur Piuning, Membawa Senteng, tidak boleh membawa perlengkapan dan makanan yang mengandung unsur sapi, pendaki perempuan yang sedang haid dilarang turut serta. Kedua, berkoordinasi secara resmi dengan menyampaikan surat permohonan ijin kepada; minimal Kapolsek, Puskesmas, dan Pihak Desa. Standar minimalnya surat disampaikan pada saat perjalanan menuju gunung tujuan, dilengkapi dengan daftar pendaki dan photo copy identitas pendaki. Ketiga, setelah pendakian pendaki wajib melaporkan diri bahwa mereka sudah kembali dengan selamat kepada semua pihak yang telah disurati, serta menyampaikan terima kasih kepada Jro Mangku yang telah mengiringi perjalanan dengan doa. Prosedur inilah yang hampir tidak dimiliki oleh pendaki gunung hari ini. Prinsip yang terbangun adalah bayar saja sesuai permintaan, maka semua urusan pendakian selesai.

Hari ini polemik atas opini penutupan dan atau pelarangan pendakian atas gunung-gunung di Bali sebagai upaya pemerintah untuk menjaga kebersihan dan kesakralan gunung menyeruak kepermukaan. Setuju atau tidak, suka maupun tidak suka, fenomena penyimpangan perilaku “oknum” pendaki memang sungguh sangat meresahkan. Pemerintah Bali menjadi pemerintah pertama di Indonesia yang memberikan perhatian khusus atas hal ini. Menghadirkan pendaki senior, FKPA Bali sebagai Perwakilan Pecinta Alam, penggiat wisata alam, dan pemangku kebijakan adat adalah langkah bijaksana pemerintah untuk mendapatkan solusi yang layak dan patut diteladani pemerintah provinsi lainnya.

Gunung adalah representasi dari ketinggian tekad dan ketaatan moral. “Jika ingin menguji seberapa dalam dan kuat persahabatanmu, maka mendakilah bersamanya”, “Jika hatimu berkata puncak gunung ini terlalu jauh, maka baiknya kamu pulang saja karena separuh dari kekuatanmu telah hilang”, “mencapai puncak gunung itu dimulai dari satu langkah, maka tetaplah melangkah dan setibanya kamu dipuncak ingatkan tujuan awal pendakianmu; turun dan pulang dengan selamat”, inilah sederet pesan pecinta alam yang sekaligus pendaki gunung untuk generasi penerusnya. Salam Lestari!


Penulis: Suwardi Rasyid

Mantan Ketua UKM Mapala Loka Samgraha UNDIKSHA


Rate This Article

Thanks for reading: DILEMA PENDAKI GUNUNG - Suwardi Rasyid, Sorry, my English is bad:)

About the Author

Aras Atas

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.
// //