

Publikasi “Battery Extracted” Versi Bahasa Indonesia, Laporan yang Menyoroti Masalah Lingkungan dan Sosial dalam Rantai Pasok Industri Baterai
![]() |
arasatas.com |
Aras Atas - Jakarta, 12 Februari 2025 – Laporan Battery Extracted versi bahasa Indonesia telah dirilis oleh organisasi masyarakat sipil Indonesia dan Korea. Laporan ini mengungkap dampak buruk penambangan nikel terhadap lingkungan dan hak asasi manusia di Indonesia, terutama di Sulawesi Tenggara, yang menjadi pusat produksi nikel dunia.
Investigasi lapangan pada Juli 2024 di Desa Lameruru, Konawe Utara, mengungkap bahwa industri nikel telah merusak lingkungan dan mengubah kehidupan masyarakat setempat. Kisran Makati, Direktur PuSPAHAM, menggambarkan bagaimana komunitas lokal kehilangan kemandirian mereka.
“Dulu, masyarakat bisa menanam sendiri dan menangkap ikan untuk makan. Sekarang mereka bergantung pada pedagang dari luar,” ujarnya. Ia juga menyoroti minimnya manfaat ekonomi bagi warga lokal. “Hanya segelintir orang yang mendapat pekerjaan di tambang, sementara yang lain kehilangan tanah dan sumber air bersih.”
Selain itu, penolakan terhadap tambang sering kali dibalas dengan represi fisik. “Ketika masyarakat melawan, mereka justru dihadapkan pada kekerasan dan intimidasi,” tambah Kisran.
Kendaraan listrik sering dianggap sebagai solusi ramah lingkungan, tetapi laporan ini menunjukkan sisi lain dari industri tersebut. Kurniawan Sabar, Direktur INDIES, menegaskan bahwa narasi “hijau” ini perlu ditinjau ulang.
“Di balik kendaraan listrik yang dianggap bersih, ada kehancuran lingkungan dan penderitaan masyarakat,” ujarnya. Ia menekankan perlunya perubahan paradigma. “Yang kita butuhkan bukan lebih banyak mobil, tetapi sistem yang lebih adil dalam penggunaan sumber daya dan pelestarian lingkungan.”
Laporan ini juga menyoroti investasi besar-besaran Korea di industri nikel Indonesia, yang meningkat 1.200% pada kuartal kedua 2024, mencapai USD 1,3 miliar. Sayangnya, kebijakan untuk mengurangi dampak negatif investasi ini masih lemah.
Shin-young Chung, Direktur Advocates for Public Interest Law (APIL), menekankan pentingnya regulasi yang ketat. “Kita memerlukan undang-undang yang memastikan perusahaan bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas mereka,” ujarnya.
Sementara itu, Hyelyn Kim dari Climate Ocean Research Institute (CORI) menyoroti peran pemerintah Korea. “Pemerintah Korea tidak bisa hanya mendukung eksploitasi sumber daya di luar negeri. Mereka harus memastikan perusahaan-perusahaan ini tidak melanggar hak asasi manusia dan merusak lingkungan,” katanya.
Laporan Battery Extracted mengingatkan bahwa transisi energi yang berkelanjutan tidak bisa hanya dilihat dari produk akhirnya, tetapi juga dari cara sumber dayanya diperoleh. Jika kendaraan listrik dibangun di atas penderitaan masyarakat dan kerusakan lingkungan, maka apakah itu benar-benar solusi?
Seperti yang disampaikan Kurniawan Sabar, “Transisi energi tidak boleh menjadi kedok untuk eksploitasi baru. Jika kita benar-benar peduli pada masa depan, kita harus menata ulang sistem, bukan hanya mengganti mesin.”
Join the conversation