

Aras Atas – Viral di media sosial, tagar #KaburAjaDulu bukan sekadar tren, tetapi sebuah tamparan keras bagi Indonesia. Generasi muda kini mempertanyakan masa depan mereka di negeri sendiri. Jika pemerintah tak segera berbenah, negeri ini bisa kehilangan anak-anak terbaiknya—bukan karena perang atau bencana alam, tetapi karena keputusasaan kolektif yang kian meluas.
![]() |
arasatas.com |
Dalam beberapa bulan terakhir, ribuan anak muda membanjiri platform media sosial dengan kisah mereka tentang sulitnya mencari pekerjaan, tingginya biaya hidup, dan kurangnya kesempatan berkembang di Indonesia. Mereka berbagi pengalaman tentang bagaimana sistem di dalam negeri seolah lebih menghambat daripada mendukung. Mereka lelah dengan janji-janji pembangunan yang tak pernah benar-benar dirasakan manfaatnya. Bagi mereka, meninggalkan Indonesia bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan demi kehidupan yang lebih layak.
Fenomena ini semakin diperparah dengan realitas pahit dunia kerja. Meski banyak lulusan baru setiap tahunnya, lowongan pekerjaan tetap terbatas dan upah masih jauh dari layak. Bahkan, pekerja dengan keterampilan tinggi pun kerap kali mendapati diri mereka terjebak dalam pekerjaan dengan gaji pas-pasan. Alih-alih memberikan solusi, pemerintah justru lebih sibuk berdebat tentang wacana-wacana yang tidak konkret. Jika ini terus dibiarkan, apakah Indonesia masih layak disebut sebagai tanah harapan?
Isu ini juga menyingkap paradoks kebijakan pemerintah. Di satu sisi, pemerintah menggaungkan narasi "Indonesia Emas 2045," tetapi di sisi lain, anak-anak mudanya memilih pergi. Bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa menjadi maju jika generasi produktifnya justru merasa lebih baik membangun masa depan di negeri orang? Apakah pemerintah sadar bahwa setiap individu yang pergi adalah kehilangan bagi negara ini—bukan hanya dalam jumlah, tetapi juga dalam kualitas?
Lebih jauh, #KaburAjaDulu juga menunjukkan betapa rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang ada. Korupsi yang tak kunjung diberantas, kebijakan ekonomi yang lebih menguntungkan elite, serta sistem pendidikan yang semakin mahal adalah beberapa alasan utama mengapa banyak yang ingin hengkang. Ini bukan hanya sekadar "trend" atau fenomena sesaat, tetapi gejala dari ketidakpuasan struktural yang semakin dalam.
Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Andika Pratama, menilai bahwa fenomena ini adalah bentuk kritik sosial yang tak bisa diabaikan. "Ketika masyarakat memilih untuk meninggalkan negara mereka sendiri, itu bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi karena mereka merasa tidak ada harapan lagi di sana. Ini adalah mosi tidak percaya yang paling nyata terhadap pemerintah," ujarnya. Menurutnya, jika negara tak segera merespons, eksodus talenta muda akan menjadi ancaman serius bagi pembangunan nasional.
Namun, pertanyaannya kini bukan hanya tentang mengapa anak-anak muda ingin pergi, tetapi juga tentang siapa yang akan bertanggung jawab atas kondisi ini. Pemerintah bisa saja mengklaim bahwa mereka telah berupaya, tetapi nyatanya, jika kebijakan yang ada tak cukup memberi jaminan masa depan, maka eksodus ini tak akan berhenti. Seiring waktu, #KaburAjaDulu bisa menjadi kenyataan bagi semakin banyak orang—dan saat itu terjadi, mungkin sudah terlambat untuk menyesali semuanya.
Ironisnya, negara-negara lain justru dengan senang hati menerima anak-anak muda Indonesia. Mereka menawarkan gaji lebih tinggi, lingkungan kerja yang lebih profesional, dan sistem yang lebih menghargai kompetensi. Jika Indonesia tak segera membuktikan bahwa negeri ini layak untuk diperjuangkan, maka jangan salahkan mereka yang memilih untuk pergi. Sebab, di mata mereka, #KaburAjaDulu bukan sekadar pilihan—itu adalah jalan keluar dari negeri yang tak lagi memberi harapan.
Join the conversation