

Baca Buku Adalah Kemewahan Terakhir Yang Dimiliki Mahasiswa
Mahasiswa sering disebut sebagai agen perubahan, tetapi kualitas akademik mereka justru menurun. Salah satu indikatornya adalah rendahnya minat baca. Data UNESCO menunjukkan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia hanya 0,001%, yang berarti dari 1.000 orang, hanya satu yang memiliki kebiasaan membaca. Studi PISA (Programme for International Student Assessment) juga menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam hal kemampuan membaca. Ini menjadi peringatan serius bagi dunia akademik, terutama perguruan tinggi yang seharusnya melahirkan pemikir kritis.
Minat baca yang rendah berdampak langsung pada kualitas akademik mahasiswa. Studi dari Indonesian Literacy Institute menyebutkan bahwa kurangnya kebiasaan membaca memperburuk kemampuan berpikir kritis. Hal ini terlihat dalam penelitian mahasiswa yang sering kali dangkal dan minim analisis. Sebagian besar karya ilmiah hanya memenuhi syarat administratif tanpa menunjukkan pemahaman mendalam terhadap suatu isu. Akibatnya, kualitas akademik menurun dan lulusan menjadi kurang kompetitif.
Era digital memberi akses informasi luas, tetapi tidak serta-merta meningkatkan literasi mahasiswa. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa lebih dari 60% pengguna internet di Indonesia lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial daripada membaca literatur akademik. Algoritma digital yang menawarkan hiburan instan semakin menjauhkan mahasiswa dari bacaan ilmiah. Akibatnya, kemampuan analisis mereka melemah, dan daya kritis terhadap isu sosial semakin berkurang.
Membaca bukan sekadar kebiasaan, tetapi tanggung jawab intelektual mahasiswa. Studi dari National Literacy Trust menunjukkan bahwa kebiasaan membaca berkorelasi dengan peningkatan kapasitas berpikir kritis dan reflektif. Mahasiswa yang aktif membaca memiliki wawasan lebih luas dan mampu memahami kompleksitas suatu isu dengan lebih baik. Tanpa budaya literasi yang kuat, mereka hanya akan menjadi konsumen informasi pasif, bukan pencipta gagasan baru.
Perbandingan efektivitas buku cetak dan digital juga menarik dikaji. Riset University of Maryland menyimpulkan bahwa membaca buku cetak meningkatkan daya ingat dan pemahaman lebih baik dibandingkan membaca di layar. Faktor seperti gangguan notifikasi dan pencahayaan layar memengaruhi fokus dalam membaca digital. Namun, penelitian lain dari Pew Research Center menunjukkan bahwa buku digital menawarkan fleksibilitas lebih tinggi, terutama bagi mahasiswa dengan mobilitas tinggi. Oleh karena itu, keseimbangan antara keduanya diperlukan agar manfaat literasi tetap maksimal.
Lingkungan akademik berperan besar dalam membentuk budaya membaca. Sayangnya, banyak perguruan tinggi tidak memiliki kebijakan yang mendorong literasi. Studi dari International Federation of Library Associations (IFLA) mencatat bahwa perpustakaan kampus di Indonesia sering sepi peminat. Bahkan, dosen sebagai panutan akademik sering kali tidak memiliki kebiasaan membaca yang kuat. Jika lingkungan akademik tidak mendukung literasi, mahasiswa pun akan kehilangan motivasi untuk meningkatkan minat bacanya.
Perguruan tinggi harus lebih serius dalam mendorong budaya membaca. Riset World Bank menyebutkan bahwa akses terhadap literatur berkualitas berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan tinggi. Institusi akademik perlu memperbanyak bahan bacaan berkualitas dan merancang kurikulum yang lebih menekankan analisis literatur. Dengan cara ini, mahasiswa akan terbiasa membaca dengan pemahaman yang lebih mendalam.
Mahasiswa juga harus mengambil inisiatif dalam meningkatkan literasi mereka. Studi dari Harvard Business Review menyebutkan bahwa individu dengan kebiasaan membaca yang tinggi memiliki prospek karier lebih baik. Membaca bukan sekadar memenuhi tugas akademik, tetapi investasi jangka panjang bagi kehidupan profesional. Tanpa literasi yang kuat, mustahil bagi mereka untuk menjadi agen perubahan yang memiliki dampak besar di masyarakat.
Membangun budaya membaca adalah tanggung jawab bersama. Mahasiswa, dosen, dan institusi pendidikan harus berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung literasi akademik. Jika budaya membaca dapat diperkuat, perguruan tinggi akan menjadi pusat intelektual yang melahirkan individu berpikir kritis, inovatif, dan mampu berkontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.
Join the conversation