

Bebaskan Pendidikan Kita Dari Guru Yang Malas Membaca Buku
Kurator Penulisan: SIW
Narasi - Pendidikan | Sistem pendidikan kita masih ketinggalan zaman, bahkan Kurikulum Merdeka Belajar menjadi problem tersendiri bagi dunia pendidikan kita. Siswa diperlakukan seperti celengan kosong yang harus diisi hafalan dan proses yang mekanis. Paulo Freire menyebut ini pendidikan ala bank—guru setor ilmu, siswa terima tanpa proses berpikir. Akibatnya, siswa lebih sibuk mengejar nilai daripada penasaran pada pengetahuan.
Masalah lainnya, banyak guru masih pakai metode lama: mencatat, menghafal, ujian. Cara ini bikin siswa kehilangan kreativitas dan pemikiran kritis. Mereka belajar karena terpaksa, bukan karena ingin tahu.
Padahal, pendidikan harusnya membangun cara berpikir, bukan sekadar menjejalkan informasi ke kepala siswa. Siswa menjadi seperti robot (mekanis) jika ditanya "paham anak-anak?", mereka serempak menjawab "paham". Jika gurunya jeli, coba saja minta mereka jelaskan kembali materinya, mereka akan diam.
Metode hafalan yang kaku ini juga dikritik oleh Tan Malaka. Dalam Madilog, ia menegaskan bahwa “Pengajaran dengan hanya menghafal tanpa berpikir kritis tidak akan menghasilkan manusia yang cerdas dan mandiri.” Pendidikan yang hanya berisi hafalan tanpa pemahaman membuat siswa seperti robot—bisa mengulangi informasi, tapi tak tahu cara menggunakannya dalam kehidupan nyata.
Pemerintah coba kasih solusi teknis seperti pemberian makanan bergizi gratis di sekolah. Bagus, tapi kalau cara ngajarnya masih kaku, hasilnya tetap nihil. Pendidikan bukan cuma soal gizi, tapi juga soal bagaimana siswa bisa memahami dan menerapkan ilmu dalam kehidupan nyata.
Masalah lain yang nggak kalah serius: rendahnya literasi guru. Data PISA 2022 nunjukin literasi siswa Indonesia masih rendah. Kalau muridnya aja tertinggal, gimana dengan gurunya? Banyak guru jarang baca buku atau memperbarui metode mengajarnya. Akibatnya, kelas terasa monoton, bikin siswa makin malas belajar.
Harusnya, guru nggak cuma menyampaikan materi, tapi juga ngajarin siswa berpikir. Nggak sekadar menyuruh mereka hafalan, tapi membimbing mereka menganalisis dan mencari solusi. Kalau gurunya sendiri malas berpikir kritis, gimana bisa ngajarin muridnya?
Sistem pendidikan yang kaku ini juga bikin siswa takut salah. Mereka lebih sibuk menghafal jawaban yang benar daripada memahami konsep yang lebih luas. Akhirnya, mereka kehilangan keberanian untuk bereksperimen dan berpikir mandiri.
Padahal, dunia nyata butuh orang-orang yang bisa menganalisis masalah dan mencari solusi, bukan sekadar menghafal teori. Pendidikan yang baik harus melatih siswa berpikir logis dan kreatif, bukan cuma jadi mesin hafalan yang cuma bagus di ujian.
Perubahan nggak bisa instan, tapi bisa dimulai dari guru. Mereka harus rajin baca, ikut pelatihan berkualitas, dan eksplorasi metode baru. Pemerintah juga perlu dukung dengan penyediaan buku berkualitas dan komunitas belajar bagi guru.
Selain itu, kurikulum juga harus lebih fleksibel dan relevan dengan kebutuhan zaman. Jangan terus pakai metode lama yang sudah terbukti gagal. Dunia sudah berubah, pendidikan juga harus ikut berkembang.
Kalau kita masih bertahan dengan sistem hafalan, jangan heran kalau lulusan kita kesulitan bersaing di dunia kerja dan kehidupan sosial. Mereka hanya tahu jawaban dari buku, tapi nggak tahu cara menghadapi kenyataan.
Pendidikan harusnya membebaskan, bukan memasung. Bukan sekadar bikin siswa jadi penurut, tapi ngajarin mereka jadi manusia yang bisa mengambil keputusan sendiri.
Guru punya peran besar dalam perubahan ini. Kalau mereka tetap malas membaca dan enggan belajar metode baru, maka pendidikan kita akan terus jalan di tempat.
Tantangannya memang besar, tapi perubahan harus dimulai. Pendidikan yang membebaskan hanya bisa terjadi kalau gurunya juga terbebas dari pola pikir lama.
Kurikulum bisa terus dirombak, tapi kalau gurunya nggak berkembang, pendidikan kita tetap stagnan. Kalau mau maju, perubahan harus dimulai sekarang!
Join the conversation