

Aras Atas - Jakarta | Kasus pembredelan lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dinyanyikan band Sukatani terus memicu perdebatan. AMAR Law Firm & Public Interest Law Office menilai tindakan aparat melanggar hukum dan kebebasan berekspresi yang dijamin dalam sistem demokrasi.
"Pembredelan karya seni 'Bayar Bayar Bayar' milik band Sukatani merupakan pelanggaran hukum, terutama pelanggaran kebebasan berekspresi," kata Imanuel Gulo, perwakilan AMAR Law Firm & Public Interest Law Office.
Pada 20 Februari 2025, dalam situasi masih berlangsungnya aksi Indonesia Gelap, beredar video klarifikasi dan permintaan maaf personel Band Sukatani di media sosial. Dalam video berdurasi 1 menit 49 detik itu, musisi yang dikenal dengan lirik kritis dan aksi panggung bertopeng muncul dengan wajah terbuka dan ekspresi tertekan.
"Klarifikasi dan permintaan maaf tersebut merupakan imbas dari lagu berjudul 'Bayar, Bayar, Bayar', yang secara tajam mengkritik polisi yang korup," ujar Imanuel.
Dalam video itu, para personel Sukatani menyatakan bahwa lagu tersebut telah dihapus dari platform musik. Mereka juga meminta masyarakat menghapus lagu atau video terkait serta menegaskan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas risiko yang mungkin terjadi di kemudian hari.
Menurut AMAR Law Firm, tindakan ini merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi, yang dilindungi oleh berbagai regulasi, termasuk Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD 1945, serta berbagai peraturan nasional dan internasional.
"Peristiwa yang dialami oleh band Sukatani tersebut merupakan pemberedelan karya seni yang melanggar kebebasan berekspresi," kata Imanuel.
Prinsip Siracusa menyatakan bahwa pembatasan hak asasi manusia harus memiliki dasar hukum yang jelas, diperlukan dalam masyarakat demokratis, serta bertujuan melindungi ketertiban umum, moral publik, keamanan nasional, atau hak dan kebebasan orang lain.
"Tidak ada satu pun kondisi tersebut terpenuhi sehingga tidak terdapat alasan hukum untuk membatasi karya band Sukatani," tegas Imanuel lagi dalam rilis.
Kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran kebebasan berekspresi di Indonesia, termasuk pelarangan pameran seni, sensor buku, larangan pemutaran film, serta pembatasan pertunjukan musik. Komisi Kepolisian Nasional juga didorong untuk menyelidiki dugaan ancaman dari aparat kepolisian dalam kasus ini.
"Negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan berekspresi sehingga institusi seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kementerian HAM, dan Kementerian Kebudayaan harus proaktif mengusut peristiwa pembredelan ini," ujar Imanuel.
AMAR Law Firm merekomendasikan sejumlah langkah bagi seniman menghadapi ancaman terhadap karya mereka. Pertama, mengidentifikasi pihak yang mengancam dan mendokumentasikannya. Kedua, menghindari pertemuan dengan pengancam jika memungkinkan. Jika ada panggilan pemeriksaan dari aparat, seniman diminta memastikan adanya surat resmi. Ketiga, mencari bantuan hukum dari lembaga bantuan hukum atau pengacara publik. Keempat, melaporkan ancaman kepada lembaga terkait.
Join the conversation