

Membela Gen Z dengan Segala Kekurangannya
Narasi - Generasi Z—sebut saja mereka yang lahir antara tahun 1997-an hingga awal 2012-an—sering kali mendapat sorotan negatif. Mereka disebut rapuh, gampang mengeluh, tidak tahan banting, dan terlalu mudah tersinggung alias "baperan". Kritikan ini datang dari berbagai kalangan, mulai dari orang tua, guru, hingga atasan di tempat kerja. Mereka dianggap tidak punya daya juang seperti generasi sebelumnya, yang konon lebih sabar dan gigih menghadapi tantangan hidup.
Selain itu, banyak yang menuding Gen Z terlalu bergantung pada teknologi. Mereka lebih suka mencari solusi instan daripada menghadapi masalah dengan proses panjang. Ini terlihat dari kebiasaan mereka yang lebih memilih mengandalkan Google atau AI untuk mencari jawaban ketimbang berusaha memahami persoalan secara mendalam. Ditambah lagi, banyak yang menganggap mereka kurang sopan, tidak menghormati hierarki, dan lebih sering menuntut hak daripada menjalankan kewajiban.
Tidak berhenti di situ, ada juga anggapan bahwa Gen Z lebih cepat menyerah. Begitu dihadapkan pada kesulitan, mereka cenderung mundur atau mencari jalan pintas. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang konon lebih "keras" dalam menghadapi hidup, Gen Z dianggap kurang memiliki mental baja. Perubahan tren pekerjaan yang menuntut fleksibilitas, work-life balance, dan kenyamanan dalam bekerja malah sering dianggap sebagai bentuk kemanjaan mereka. Tapi, benarkah semua tuduhan ini mutlak adanya?
Untuk memahami fenomena ini, mari kita lihat teori Self-Fulfilling Prophecy (Ramalan yang Menjadi Kenyataan) yang pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Robert K. Merton pada tahun 1948. Teori ini menjelaskan bahwa jika seseorang atau kelompok terus-menerus diberi label tertentu, mereka cenderung akan memenuhi ekspektasi dari label tersebut. Dengan kata lain, jika masyarakat terus-menerus mengatakan bahwa Gen Z lemah, manja, dan baperan, maka besar kemungkinan mereka benar-benar akan menjadi seperti itu.
Secara ilmiah, teori ini menjelaskan bagaimana stereotip dan ekspektasi sosial dapat memengaruhi perilaku seseorang. Dalam konteks Gen Z, ketika mereka terus-menerus dikritik sebagai generasi yang rapuh, mereka mulai meyakini label tersebut. Akibatnya, mereka lebih mudah menyerah karena merasa bahwa mereka memang tidak sekuat generasi sebelumnya. Hal ini bukan karena kelemahan alami mereka, melainkan karena tekanan sosial yang terus-menerus membentuk pola pikir mereka.
Lebih jauh, data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa Gen Z justru memiliki keunikan tersendiri dalam menghadapi tantangan zaman. Misalnya, sebuah studi dari Deloitte (2023) menunjukkan bahwa Gen Z adalah generasi yang lebih peduli dengan kesehatan mental dan keseimbangan hidup dibanding generasi sebelumnya. Namun, alih-alih dianggap sebagai langkah positif, perhatian mereka terhadap isu ini malah sering dicap sebagai tanda kelemahan. Padahal, jika dilihat dari perspektif lain, mereka sebenarnya sedang beradaptasi dengan era yang jauh lebih cepat berubah dibanding era sebelumnya.
Dengan adanya teori dari Merton, tudingan dan stereotip terhadap Gen Z tidak hanya memengaruhi mereka secara psikologis, tetapi juga membentuk bagaimana orang-orang di sekitar mereka bersikap. Orang tua, guru, atasan, atau siapa pun yang mengonsumsi berita dan opini negatif tentang Gen Z secara mentah-mentah akan membawa prasangka tersebut ke dalam interaksi mereka dengan Gen Z. Akibatnya, komunikasi menjadi tidak adil karena sudah diawali dengan asumsi buruk.
Lebih parah lagi, banyak orang tua dan generasi sebelumnya yang tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari proses perkembangan Gen Z. Mereka tidak menyediakan ruang komunikasi yang sehat, tidak terlibat dalam membimbing, tidak berusaha memahami cara berpikir mereka, dan bahkan tidak berusaha berteman dengan mereka. Namun, mereka dengan mudahnya menilai Gen Z sebagai generasi yang bermasalah. Padahal, bagaimana bisa menilai sesuatu yang tidak pernah benar-benar mereka pahami?
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa banyaknya kritik terhadap Gen Z bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami. Banyak stereotip negatif terhadap mereka justru diperkuat oleh efek Self-Fulfilling Prophecy. Label yang terus-menerus disematkan pada Gen Z membuat mereka hidup dalam ekspektasi tersebut, sehingga mereka tidak diberi ruang untuk membuktikan diri.
Di sisi lain, lemahnya literasi informasi pada generasi sebelumnya juga menjadi faktor yang memperburuk keadaan. Banyak orang dewasa yang terjebak dalam berita dan opini sesaat tanpa benar-benar melakukan refleksi mendalam. Mereka lebih cepat percaya pada narasi negatif dibanding mencoba memahami realitas sebenarnya.
Jadi, sebelum menuding Gen Z sebagai generasi yang lemah, manja, atau bermasalah, ada baiknya kita bertanya: sudahkah kita benar-benar mengenal mereka? Sudahkah kita memberikan mereka ruang untuk berkembang? Jika jawabannya belum, maka kritik yang diberikan hanya sebatas prasangka tanpa dasar.
Namun, jika seseorang sudah terlibat langsung dalam kehidupan Gen Z—membimbing mereka, memahami pola pikir mereka, dan tetap menemukan banyak masalah—barulah kritik itu bisa dikatakan sah. Tapi sebelum itu, mari berhenti menghakimi dan mulai memahami.
Join the conversation