Aras Atas
"Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia dalam belenggu." — Jean-Jacques Rousseau
"Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia dalam belenggu." — Jean-Jacques Rousseau
"Perbudakan yang paling buruk adalah ketika seseorang percaya bahwa dirinya bebas." — Johann Wolfgang von Goethe

Jeratan Kekuasaan yang Tak Terlihat, Tak Dipahami Dan Tak Kenal Lagi

"Kebebasan adalah perbudakan jika kita tidak menyadari siapa yang menulis aturannya." — Noam Chomsky

Michel Foucault dalam Discipline and Punish membongkar ilusi ini—bukan lagi cambuk atau tiang gantungan yang menanamkan kepatuhan, melainkan pengawasan, disiplin, dan ketakutan yang kita internalisasi tanpa sadar.

Dulu, hukuman brutal menjadi tontonan publik. Tangan pencuri dipotong, pengkhianat digantung, orang yang dianggap sesat dibakar hidup-hidup. Namun, sistem ini justru menciptakan simpati terhadap yang dihukum. Maka, kekuasaan beradaptasi. Kekerasan fisik digantikan oleh metode yang lebih halus tapi jauh lebih efektif: disiplin.

Disiplin tidak lagi menyakiti tubuh, tetapi membentuk perilaku. Sekolah mengajarkan kepatuhan tanpa pertanyaan, rumah sakit menstandarkan kesehatan dengan angka-angka, dan penjara mengubah tahanan menjadi pengawas bagi diri mereka sendiri. Kita tidak lagi dipaksa, melainkan tunduk secara sukarela pada aturan yang telah mengakar dalam pikiran.

Kekuasaan modern tidak lagi beroperasi dengan cara melarang, tetapi dengan cara membentuk. Jika dulu seseorang perlu dipaksa agar patuh, kini ia hanya perlu dikelilingi oleh wacana yang membuatnya percaya bahwa patuh adalah satu-satunya pilihan logis.

Lebih jauh lagi, konsep biopower mengungkap bagaimana kekuasaan tidak hanya mengontrol tubuh individu, tetapi juga mengelola kehidupan kolektif. Negara mengawasi jumlah kelahiran, mengatur standar kesehatan, dan menentukan kurikulum pendidikan untuk menciptakan warga yang sesuai dengan kepentingan sosial-ekonomi.

Ketika disiplin menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, aturan yang ada mulai terasa alami. Anak sekolah tidak lagi mempertanyakan mengapa mereka harus mengikuti peraturan—mereka hanya tahu bahwa begitulah cara dunia bekerja.

Inilah panopticon, konsep yang Foucault adopsi dari Jeremy Bentham. Sebuah menara pengawas yang dikelilingi oleh sel-sel, di mana para tahanan tidak pernah tahu kapan mereka diawasi. Hasilnya? Mereka hidup dalam ketakutan dan menyesuaikan perilaku seolah-olah selalu dalam pengawasan, meskipun sebenarnya mungkin tidak ada yang benar-benar mengawasi.

Hari ini, panopticon telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih canggih. Media sosial adalah panopticon modern. Kita terus diawasi—oleh algoritma, perusahaan teknologi, pemerintah, bahkan teman-teman sendiri. Kita menyensor diri, membentuk citra yang diterima masyarakat, dan takut melanggar norma yang dikondisikan oleh sistem yang tak kasat mata.

Dunia kerja juga telah berubah. Tidak ada lagi bos yang berteriak dengan tongkat di tangan. Sebagai gantinya, KPI, evaluasi, dan target menciptakan tekanan yang membuat pekerja terus berusaha lebih keras tanpa perlu diancam. Mereka bekerja bukan karena dipaksa, tetapi karena takut kehilangan posisi.

Pengawasan ini meluas ke sekolah, pabrik, rumah sakit, dan bahkan keluarga. Semua sistem ini bekerja untuk membentuk subjek yang patuh, produktif, tanpa pengawasan ketat. Ini membuktikan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bersifat brutal, tetapi subtil dan tertanam dalam keseharian.

Politik bekerja dengan cara serupa. Negara tidak perlu menerapkan sensor ketat jika masyarakatnya sendiri sudah terbiasa menyesuaikan pendapat mereka agar tetap "aman." Polarisasi diciptakan, opini publik diarahkan, dan masyarakat sibuk bertengkar satu sama lain sementara sistem tetap berjalan seperti biasa.

Sekolah, rumah sakit, kantor, dan media sosial—semua adalah mesin yang membentuk kita tanpa paksaan langsung. Kita merasa bebas, padahal kebebasan itu hanyalah ilusi yang telah dikonstruksi dengan rapi. Kekuasaan modern tidak melarang, ia membentuk. Kepatuhan bukan lagi hasil pemaksaan, melainkan sebuah pilihan yang seolah-olah kita ambil sendiri.

Kita tumbuh dalam sistem yang membuat aturan terasa wajar. Anak sekolah tidak mempertanyakan aturan, pekerja menerima tekanan tanpa perlawanan, dan masyarakat mengikuti tren tanpa menyadari bahwa semuanya telah dirancang sejak awal. Sistem ini begitu efektif karena tidak menciptakan perlawanan. Jika seseorang dipaksa, ia akan melawan. Tapi jika ia percaya bahwa ia sendiri yang memilih untuk patuh, maka tidak ada alasan untuk memberontak.

Sistem kehidupan yang dianggap “alami” sebenarnya adalah hasil dari mekanisme kekuasaan yang membentuk individu sesuai dengan kepentingan tertentu. Tidak ada kebebasan murni, karena setiap pilihan individu sudah dikondisikan oleh struktur kekuasaan yang tak pernah kita pahami.

Di sinilah kekuasaan mencapai bentuknya yang paling sempurna: tidak lagi represif, tetapi produktif. Ia tidak hanya mengontrol, tetapi menciptakan individu yang sesuai dengan kepentingannya. Kita berlomba menjadi "baik" sesuai standar sistem—bekerja keras, menjaga citra, mengikuti tren—tanpa menyadari bahwa kita hanya menjalankan skenario yang telah disiapkan.

Tetapi, apakah benar itu pilihan kita? Atau kita hanya menjalani naskah yang telah ditulis sejak awal?

Foucault ingin kita sadar bahwa kebebasan yang kita yakini mungkin hanyalah ilusi. Dan satu-satunya cara untuk melawan adalah dengan memahami bagaimana sistem ini bekerja. Dengan menyadari bahwa tidak semua yang tampak alami benar-benar alami.

Dunia ini bukanlah sekadar kebetulan. Ia dirancang, dikendalikan, dan dimanipulasi dengan sangat rapi. Kita tidak lagi dikurung dalam sel, tetapi dalam wacana yang membuat kita percaya bahwa dunia memang harus seperti ini.

Dan saat kita mulai menyadari semua ini, saat itulah kita benar-benar memiliki kesempatan untuk memilih.

Skenario ini juga bekerja dalam kasus korupsi yang terus terungkap bak kotak Pandora. Seperti pesulap ulung, mereka tahu kapan harus memainkan keajaiban di depan publik. Masyarakat? Bisu. Mereka tahu para politisi adalah perampok kelas kakap, tetapi tetap diam, menertawakan semua ini dengan humor khas yang, jika dipikirkan lebih jauh, adalah bentuk kebodohan kolektif.

Kenapa kita masih diam? Korupsi telah menjadi ajang perlombaan: siapa yang bisa meraup keuntungan paling banyak. Bangsa ini lebih mudah dibodohi daripada mengakui bahwa mereka bodoh secara kolektif. Mahasiswa yang berdemo demi kepentingan rakyat malah dicemooh, dianggap hanya membuat kerusuhan dan merusak fasilitas umum.

Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas menjelaskan bahwa masyarakat yang terjebak dalam ketidakadilan cenderung memiliki kesadaran yang terbatas. Kesadaran semi-intransitif adalah kesadaran yang menerima dunia sebagaimana adanya, melihat kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan sebagai bagian dari takdir. Inilah yang terjadi ketika orang berkata, "Memang sudah nasib," atau "Beginilah Indonesia."

Masyarakat kita hidup secara mekanis, hanya bereaksi terhadap peristiwa tanpa memahami akar masalahnya. Bencana dianggap takdir, kegagalan dilihat sebagai nasib buruk, dan keberhasilan orang lain dianggap sebagai keberuntungan belaka.

Hidup dalam kesadaran ini penuh magis, mistik dan buta realitas karena semua dipandang sederhana, "nasib". Spiritual hanya ruang pelarian dari persaingan (kompetisi), jika mereka gagal mereka berkata persis dengan apa yang diajarkan di panggung-panggung dakwah para mubaligh-nya " Sabar, rejeki tidak akan salah kamar", "belum takdir", "nasib belum memihak". Sikap dan perilaku ini, membunuh peradaban. 

Tidak ada evaluasi, kenapa bisa gagal, apa yang belum saya kuasai agar dipersiapkan dengan lebih baik. Semua urusan dipasrahkan dengan cara-cara yang pasif. 

Mereka yang sedikit lebih sadar memasuki tahap kesadaran transitif naif. Mereka mulai mempertanyakan keadaan, tetapi masih terjebak dalam solusi dangkal. Mereka ingin mengganti pemimpin, berharap sistem akan membaik, padahal sistem tidak berubah hanya dengan mengganti orang.

Mereka percaya pada figur penyelamat—seorang pemimpin yang akan datang membawa perubahan—tanpa menyadari bahwa perubahan tidak datang dari satu orang, tetapi dari kesadaran kolektif yang bergerak.

Kesadaran yang paling tinggi adalah kesadaran transitif kritis—di mana seseorang tidak hanya memahami ketidakadilan, tetapi juga mampu menganalisis dan mengambil tindakan strategis untuk mengubahnya. Sayangnya, kebanyakan masyarakat kita berhenti di tengah jalan. Mereka tahu ada yang salah, tapi tidak cukup peduli untuk benar-benar berbuat sesuatu.

Masalahnya bukan karena kita belum sadar. Jika belum, itu hanya soal waktu dan proses. Tapi lebih dari itu, kita memilih untuk tidak sadar. Kita menikmati kebebasan palsu dalam sistem yang telah mengendalikan kita dari segala aspek.

"Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia berada dalam belenggu." — Jean-Jacques Rousseau

Dunia ini bukan hanya tentang siapa yang berkuasa, tetapi tentang siapa yang menyadari bahwa dirinya sedang dikendalikan. Dan pertanyaannya adalah: apakah kita masih mau terus menjadi pion dalam permainan ini?

Kurator Penulisan: SIW - Aras Atas

Aras Atas